Paul Ince dan Keputusan Terbaik Berlabuh Ke Inter Milan
Paul Ince, salah satu gelandang tengah paling berpengaruh Inggris pada masanya, membuat keputusan yang mengejutkan ketika pindah dari Manchester United ke Inter Milan pada musim panas 1995.
Meski awalnya merasa terpaksa pergi dan menghadapi berbagai tantangan, termasuk rasisme, langkah tersebut ternyata menjadi salah satu keputusan terbaik dalam kariernya. Artikel ini akan mengulas mengapa kepindahan Paul Ince ke Inter Milan menjadi titik balik positif yang membentuk legacy dan perjalanan kariernya secara mendalam, langsung saja klik link LIGA ITALIA.
Kabar Gembira bagi pecinta bola, khususnya Timnas Garuda. Ingin tau jadwal timnas dan live streaming pertandingan timnas? Segera download!
Latar Belakang Kepindahan Paul Ince ke Inter Milan
Pada awal 1990-an, Paul Ince dikenal sebagai sosok gelandang yang tangguh dan berkarakter kuat di Manchester United. Bersama Roy Keane, Ince membentuk duo lini tengah yang tak tergoyahkan dan membantu United meraih sepuluh gelar besar selama enam tahun terakhirnya di Old Trafford. Namun, pada musim panas 1995, hubungan Ince dengan manajer Sir Alex Ferguson mulai merenggang, yang menjadi faktor utama keputusan klub melepasnya ke Inter Milan dengan nilai transfer sebesar £7 juta.
Ince sendiri mengakui bahwa kepindahannya bukanlah keinginannya. Ia mengungkap bahwa kontrak baru dan penghargaan testimonial sebenarnya sudah hampir disepakati, namun keputusan untuk menjualnya tetap diambil oleh Ferguson dan direksi klub. Situasi ini tentu menimbulkan perasaan kecewa dan seolah mengabarkan bahwa klub sudah tidak lagi menginginkannya, sesuatu yang dialami oleh banyak pemain ketika harus pindah secara tiba-tiba.
Tantangan Adaptasi di Serie A dan Italia
Kepindahan Ince ke Inter Milan bukan tanpa hambatan besar. Ia menghadapi perbedaan budaya, bahasa, dan gaya bermain sepak bola yang kontras drastis dengan yang ia jalani di Inggris. Serie A dikenal dengan taktiknya yang lebih lambat, teknis, dan sangat disiplin secara defensif. Berbeda dengan gaya fisik dan dinamis Liga Inggris. Ince, yang terbiasa sebagai pusat dari formasi 4-4-2 Ferguson, kadang kala diposisikan tidak ideal di dalam sistem 5-3-2 pelatih Ottavio Bianchi. Hal ini membuatnya kesulitan menyesuaikan diri di awal.
Yang lebih berat lagi, Ince menghadapi rasisme sistemik yang mengenaskan di Italia. Saat tiba di Milan, ia disambut dengan grafiti rasis di stadion Giuseppe Meazza. Tempat latihan Inter, dan pengusiran verbal di berbagai pertandingan. Termasuk insiden melewati batas saat pertandingan melawan Cremonese di mana ia menjadi sasaran makian rasis yang brutal. Namun Ince menunjukkan sikap positif dan ketangguhan mental yang langka dengan membalas sindiran tersebut dengan tepuk tangan sinis. Sebuah tindakan yang sekaligus memperlihatkan kelas dan keteguhan jiwanya.
Baca Juga: Simone Inzaghi: Inter Milan Harus “Menderita” untuk Kalahkan PSG di Final Liga Champions
Kontribusi dan Kesuksesan di Inter Milan
Meskipun berada di lingkungan yang penuh tekanan dan kontroversi. Paul Ince berhasil menunjukkan kapasitas dan nilainya di tim. Ia langsung menjadi pilihan utama sejak awal, berpasangan dengan Nicola Berti di lini tengah yang menggabungkan semangat kerja keras serta kualitas teknis. Pada musim debutnya, Ince menyumbang tiga gol penting, termasuk momen spektakuler saat membantu Inter menang telak 8-2 atas Padova.
Di bawah manajer baru Roy Hodgson, yang datang menggantikan Bianchi, performa Ince meningkat pesat. Ia mencetak total sepuluh gol pada musim 1996/97 sekaligus membawa Inter ke final Piala UEFA. Meskipun Inter kalah melalui adu penalti dari Schalke 04, peran Ince sangat penting dalam perjalanan itu. Ia bahkan dikenal di Italia sebagai “The Tiger” karena semangat dan daya juangnya yang luar biasa. Pengaruhnya begitu besar sehingga media Italia menyebut tim tanpa kehadirannya sebagai “Inter senza Anima” atau “Inter tanpa jiwa”.